Upaya penegakan hukum yang telah dilakukan oleh aparat
kepolisian di bawah pimpinan Sutanto telah menunjukkan
hasil yang sangat mengembirakan, tidak ada lagi tebang
pilih dalam penegakan hukum karena memang itu
merupakan amanat dari undang-undang yang berlaku
dinegara kita ini, siapapun yang melakukan tindakan
yang melanggar dari ketentuan perundang-undangan yang
berlaku harus ditindak dengan tegas dan diberikan
sanksi hukum kepadanya, sekalipun itu dilakukan oleh
pejabat tinggi negara, pejabat tinggi daerah atau staf
serta masyarakat umum. Namun demikian ternyata apa
yang dilakukan oleh pihak kepolisian belum dapat
memberikan hasil maksimal dalam upaya supremasi hukum
tersebut kalau tidak didukung oleh aparat penegak
hukum lainnya seperti pihak kejaksaan, kehakiman dan
pengadilan pada umumnya.
Banyak kasus yang ditangani oleh pihak kepolisian dan
menyatakan seseorang tersebut sebagai tersangka karena
terbukti bersalah dan melanggar ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, namun akhirnya
terkadang mandeg atau kandas sampai dipihak kejaksaan
atau di pengadilan, atau dihukum dengan sangat ringan
yang mungkin tidak seimbang dengan perbuatannya atau
bahkan dinyatakan bebas dari segala tuntutan.
Menyikapi ini, apa lagi yang bisa dilakukan oleh pihak
kepolisian? Mereka capek mengumpulkan data, barang
bukti dan saksi, bahkan harus memburu tersangka sampai
berbulan-bulan keseluruh pelosok negeri atau bahkan
keluar negeri karena si tersangka melarikan diri.
Dapat kita bayangkan berapa banyak tenaga dan dana
yang terkuras, namun harus kandas dengan alasan belum
cukup bukti atau lain sebagainya.
Tapi itulah gambaran terkecil dari sederetan fenomena
penegakan hukum yang sedang berlangsung di Indonesia.
Karena itu nampaknya sudah ciri yang katanya untuk
mewujudkan demokratisasi dan perlindungan hak asasi
manusia.
Sekalipun Presiden SBY dalam beberapa kesempatan
selalu mengemukakan bahwa hukum harus ditegakkan,
pelaku tindakan pelanggaran hukum harus mendapatkan
sanksi dari perlakuan tersebut, siapapun orangnya,
baik pejabat tinggi, pejabat daerah, oknum polisi,
jaksa, hakim, tentara atau masyarakat sipil, harus
ditindak dan merupkan musuh besar kita.
Namun seakan tindakan pelanggaran hukum tersebut
semakin langgeng dilakukan oleh aparatur pemerintah,
aparatur penegak hukum, pengusaha, dan masyarakat
umum. Akankah anak bangsa ini akan menjadi
person-person pelanggar hukum, atau tidak taat hukum?
Lalu akankah konsep negara hukum ini akan direformasi
lagi ? disesuaikan dengan keadaan hari ini? karena
tidak sedikit pemberi contoh mulai dari pejabat pusat,
pejabat provinsi sampai ke pejabat daerah
kabupaten/kota bahkan sampai ke desa yang melakukan
tindakan pelanggaran hukum, dan yang lebih trend
dilakukan sekarang khususnya berkaitan dengan
masalah-masalah korupsi atau penyalahgunaan wewenang
atau jabatan. Khususnya tindakan yang dilakukan oleh
masyarakat umum lebih cenderung mengarah kepada
tindakan premanisme, kekerasan seksual, perampokan,
dan berbagai bentuk kriminalitas lainnya.
Penerapan sanksi atas perlakuan tersebut seakan tidak
memberikan aspek jera terhadap pelaku atau
pengikut-pengikut yang sealiran dengan pelaku. Apakah
itu karena sanksi terlalu ringan ? atau karena dalam
menjalankan sanksi mereka juga diberikan kelonggaran
atau kebebasan untuk melakukan segala aktivitas yang
berkaitan usahanya selamanya ini ? karena tidak jarang
kita dengar, sang napi juga masih tetap eksis dalam
menjalan usahanya, seperti untuk beberapa kasus
narkoba. Dimana sang napi juga bertransaksi dalam
hotel prodeonya. Atau mungkin karena mereka hanya
pindah tidur saja, karena di hotel prodeo tersebut
juga disedikan kelas VIP tergantung kantong
penguninya, sehingga ia juga tidak akan merasakan
upaya pemberian aspek jera tersebut.
Jika demikian terjadi, maka saya yakin Indonesia akan
menjadi sebuah negara pelanggar hukum terbesar di
dunia ini. Hukum atau aturan perundang-undangan yang
kita buat bukannya meminimalisir terjadinya tidakan
pelanggaran hukum malahan akan semakin memperbanyak
pelaku pelanggaran tersebut, karena setiap sisi
perbuatan anak bangsa tersebut memiliki aspek hukum.
Jadi pemerintah harus menyediakan sebanyak-banyaknya
lembaga pemasyarakatan, kalau perlu lebih banyak dari
pembangunan rumah tipe RS dan RSS. Ini harus
dilakukan, karena sampai saat ini tidak ada lagi
lembaga pemasyarakatan yang tidak over kafasitas.
Ini menandakan bahwa semakin lemahnya penegakan hukum
atau penerapan sanksi hukum terhadap pelaku
pelanggaran yang terjadi di Indonesia, dan akan
mengakibatkan rendahnya moralitas anak bangsa, atau
sebaliknya, dengan semakin berkurangnya moralitas anak
bangsa akan mengakibatkan tingginya pelanggaran hukum
karena didukung oleh lemahnya penegakan hukum atau
sanksi hukum terhadap pelaku pelanggaran.
Menyikapi keadaan ini pemerintah dan aparat penegak
hukum harus berani mengambil langkah konkrit seperti
melakukan konsekwensi ketegasan hukum, menjaga
kewibawaan hukum melalui aparat penegak hukum itu
sendiri, penerapan sanksi yang seimbang dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa tebang
pilih, dan melakukan pembinaan mentalitas khususnya
dibidang moral terhadap pemerintah atau pengambil
kebijakan serta aparat penegak hukum tersebut.
Wednesday, August 13, 2008
WAJAH SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA
11:10 AM
No comments
0 comments:
Post a Comment