Wednesday, September 3, 2008

KONSEPSI NEGARA HUKUM ( SEBUAH PERBANDINGAN ANTARA RECHTSSTAAT, THE RULE OF LAW, NOMOKRASI ISLAM DAN KONSEP NEGARA HUKUM PANCASILA)

A. Pendahuluan

Dalam suatu negara, aturan hukum merupakan suatu hal yang sangat subtansial dalam menentukan aturan berbangsa dan bernegara. Negara hukum merupakan suatu negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.
Menurut Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan dan membuat undang-undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu kata Aristoteles , bahwa yang penting adalah mendidik manusia menjadi menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya. Ajaran Aristoteles ini sampai sekarang masih menjadi idam-idaman bagi para negarawan untuk menciptakan suatu negara hukum.
Di Indonesias penerapan konsep negara hukum meskipun dalam penjelasan UUD 1945 digunakan istilah rechtsstaat, namun konsep rechtsstaat yang dianut oleh negara Indonesia bukan konsep negara hukum Barat (Eropa Kontinental) dan bukan pula konsep rule of law dari Anglo-Saxon.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan masalah pokok di atas, maka yang menjadi identifikasi masalah dalam penulisan ini adalah bagaimana konsep sebuah negara hukum dan apa kaitannya dengan konsep rechtsstaat dan rule of law

C. Pengertian Rechtsstaat
Kata majemuk Rechtsstaat dengan R besar berasal dari khazanah peristilahan bahasa Jerman, dan masuk kedalam kepustakaan Indonesia melalui bahasa belanda rechtsstaat dengan r kecil.
Kata recht memang dapat diterjemahkan dengan hukum atau staat dengan negara, namun kata majemuk Rechtsstaat tidak dapat diterjemahkan begitu saja dengan negara hukum, karena penerjemahan secara harfiah dapat mengacu kepada pengertian yang berbeda.
Kata-kata negara hukum dapat memberi kesan seolah-olah segala gerak gerik masyarakat dalam negara diatur oleh hukum, oleh peraturan perundang-undangan. Sebaliknya negara hukum dapat juga memberi kesan seolah-olah segala gerak gerik pemerintah negara itu diatur oleh hukum, oleh peraturan perundang-undangan (wettenstaat).
Menurut M.C Burkens, et, al., dalam istilah rechtsstaat memang terdapat hubungan antara recht dan staat. Namun hubungan itu bukan hubungan yang lepas atau hubungan yang lebih kurang bersifat kebetulan, melainkan hubungan yang bersifat hakiki (wezenlijk).
Dalam rechtsstaat, dasar kewibawaan kenegaraan (de grondslag van statelijk gezag) diletakkan pada hukum dan penyelenggaraan kewibawaan kenegaraan dalam segala bentuknya ditempat dibawah kekuasaan hukum. Dengan demikian pengertian rechtsstaat bukan hanya sekedar pengertian yang diperoleh dari dua kata yang membentuk kata majemuk. Lebih dari pada itu ia mengandung pengertian tersendiri.
Menurut F. Neumann, pengertian Rechtsstaat dalam perspektif historis adalah pengertian politis. Dengan mengutip pendapat Von Gneist, Neumann mengatakan bahwa istilah Rechtsstaat berasal dari Robert Von Mohl (1799-1875), dan merupakan ciptaan golongan borjuis yang disaat itu kehidupan ekonominya sedang meningkat, namun kehidupan politiknya sebagai suatu kelas sedang menurun.
Menurut Von Mohl lebih lanjut, Rechtsstaat mengandung unsur-unsur sebagai berikut : adanya persamaan di depan hukum, dapatnya setiap orang mempertahankan diri dalam semua situasi yang layak, adanya kesempatan yang sama bagi warga negara yang berhak untuk mencapai semua jabatan kenegaraan, dan adanya kebebasan pribadi bagi warga negara.
Berdasarkan uraian dimuka, kata majemuk Rechtsstaat dengan pemahaman tertentu sebaliknya tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara sederhana dengan negara hukum, melainkan negara berdasar atas hukum, sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UUD 1945.

C. Pertumbuhan Rechtsstaat
Rechtsstaat lahir dalam abad ke 19, meskipun wawasannya telah lama ada jauh sebelum itu. Ia timbul setelah tumbuhnya paham tentang negara yang berdaulat dan berkembangnya teori perjanjian mengenai terbentuknya negara serta kesepakatan penggunaan kekuasaannya.
Dalam abad pertengahan, pandangan tentang kekuasaan negara masih didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa raja adalah instansi yang tertinggi (sang soeverein). Ia masih dianggap memperoleh kekuasaannya dari Tuhan. Pandangan yang teokratis ini beranggapan bahwa semua kekuasaan dan hukum terhimpun pada raja, dan karenanya raja pulalah yang merupakan sumber dari kekuasaan dan hukum tersebut.
Raja berada di atas undang-undang, dan karena itu undang-undang tidak dapat menyentuhnya. Hal ini antara lain tercermin dalam terminologi Princeps legibus solutus est, artinya raja/emperor dibebaskan dari undang-undang, atau raja/emperor tidak terikat oleh undang-undang. Akibat dari pandangan ini maka segala hukum yang ada penguasa tingkat bawahan dan pada orang-perorangan (individu) juga bersumber pada kekuasaan raja. Hukum pada hakekatnya merupakan anugerah dari raja.
Kelemahan ajaran teokrasi ialah secara teoritis memandang segala kekuasaan bnerada ditangan raja, padahal kenyataannya tidak demikian. Kekuasaan militer dan keuangan tidak sepenuhnya ada pada raja. Hal ini mengakibatkan munculnya golongan bangsawan di bidang-bidang tersebut, yang kemudian menumbuhkan lapisan-lapisan feodal.
Perjanjian Magna Charta Libertatum pada tahun 1215 misalnya, merupakan suatu contoh kesepakatan raja Inggris dengan para bangsawannya yang berkuasa, bukan dengan rakyatnya. Pasang surut hubungan raja – bangsawan dan tarik menariknya kekuasan pusat-daerah mengakibatkan ketegangan dibidang pemerintahan dan kesengsaraan dalam kehidupan masyarakat.
Menurut teori perjanjian, manusia tidak lagi dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang tumbuh bersama tumbuhnya sejarah, dan hak-hak asasi manusia tidak lagi dipandangan dalam hubungannya dengan hak orang lain atau hak masyarakat tempat manusia hidup dan berkembang, melainkan hak yang sejak semula bebas dan tidak terikat. Teori perjanjian ini memandang negara sebagai hasil perjanjian antara manusia, yang mengalihkan manusia dari kedudukan pra negara (status naturalis) ke dalam keadaan bernegara (status civilis).
Perjanjian yang fiktif ini menyebabkan manusia bersatu (pactum unionis) dan menyerahkan sebagian hak-haknya kepada negara, serta menundukkan diri kepadanya (pactum subjectionis).
Dalam konteks ini Hobbes memandang “terjadinya” negara dapat melalui dua jalan. Pertama, secara alami dan historis sebagaimana dilihatnya dalam kenyataan di Inggris sendiri. Kedua, secara non-historis, melalui teori bentukan rasional yang disimpulkan dari watak dan sifat manusia melalui teori perjanjian.
Pandangan Hobbes mengenai teori perjanjian ini kemudian berkembang di Erope Barat melalui Pufendorf; dan kemudian diteruskan oleh Locke, Montesquieu, Rousseau, dan Kant; yang selanjutnya menumbuhkan aliran individualisme dan liberalisme dalam bidang kehidupan hukum, ekonomi dan kenegaraan. Demikianlah selanjutnya perkembangan Rechtsstaat sampai kepada wawasan negara berdasar atas hukum modern berjenjang-jenjang.

D. Konsep Barat Tentang Negara Hukum
Pemikiran tentang negara hukum di Barat dimulai sejak Plato dengan konsepnya bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik yang disebutnya dengan istilah Nomoi. Kemudian ide tentang negara hukum atau rechtsstaat mulai populer kembali pada abad ke 17 sebagai akibat dari situasi sosial politik di Eropa yang didominir oleh absolutisme. Golongan yang pandai dan kaya atau “Menschen von Besitz und Bildung” ditindas oleh kaum bangsawan dan gereja yang menumbuhkan konsep etatisme (l’etat cets moi) menginginkan suatu perombakan struktur sosial politik yang tidak menguntungkan itu, karena itu mereka mendambakan suatu negara hukum yang liberal agar setiap orang dapat dengan aman dan bebas mencari penghidupan dan kehidupan masing-masing.
Dua orang sarjana Barat yang berjasa dalam pemikiran negara hukum yaitu Imanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl telah mengemukakan buah pikiran mereka. Kant memahami negara hukum sebagai Nachtwaker staat atau Nachtwachterstaat (negara jaga malam) yang tugasnya adalah menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat. Gagasan negara hukum konsep Kant ini dinamakan dengan hukum liberal.
Konsep Stahl tentang negara hukum ditandai dengan empat unsur pokok yaitu :
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
2. Negara berdasarkan kepada teori trias politica
3. Pemerintah diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bertuur)
4. Ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).
Gagasan negara hukum yang berasal dari Stahl ini dinamakan negara hukum formil, karena lebih menekankan kepada suatu pemerintahan yang berdasarkan undang-undang.
Padmo Wahyono mencatat bahwa dalam perkembangannya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dianggap “lamban” dan karena itu diganti dengan pemerintahan berdasarkan hukum dan prinsip rechtmatig bestuur. Maka dengan demikian, negara hukum yang formil menjadi negara hukum yang materiil dengan ciri rechtmatig bestuur. Kemudian lahirlah konsep-konsep yang merupakan variant dari rechtsstaat itu, antara welvaarsstaat dan vergorgingsstaat sebagai negara kemakmuran.
Menurut Scheltema, unsur-unsur rechtsstaat adalah : (1) kepastian hukum, (2) persamaan, (3) demokrasi; dan (4) pemerintah yang melayani kepentingan umum.
Karena konsep rechtsstaat di Eropa kontinental sejak semula didasarkan pada filsafat leberal yang individualistik, maka ciri individualistik itu sangat menonjol dalam pemikiran negara hukum menurut konsep Eropa kontinental itu.
Di negara-negara Anglo-Saxon berkembang pula suatu konsep negara hukum yang semula dipelopori oleh A.V. Dicey (dari Inggris) dengan sebutan Rule of Law. Konsep ini menekankan pada tiga tolak ukur atau unsur utama yaitu (1) Supremasi hukum atau supremacy of law; (2) persamaan dihadapan hukum atau equality before the law; dan (3) konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan atau the contitution based on individual rights.
Perbedaan yang menonjol antara konsep rechtsstaat dan rule of law ialah pada konsep yang pertama peradilan administrasi negara merupakan suatu sarana yang sangat penting dan sekaligus pula ciri yang menonjol pada rechtsstaat itu sendiri. Sebaliknya pada rule of law, peradilan administrasi tidak diterapkan, karena kepercayaan masyarakat yang demikian besar kepada peradilan umum. Ciri yang menonjol pada konsep rule of law ialah ditegakkannya hukum yang adil dan tepat (just law). Karena semua orang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum, maka ordinary court dianggap cukup untuk mengadili semua perkara termasuk perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah.

E. Konsep Islam Tentang Negara Hukum
Bertitik tolak dari salah satu inti ajaran al-Qur’an yang menggariskan adanya hubungan manusia secara pertikal dan horizontal, maka dapat diketahui bahwa Islam merupakan suatu totalitas yang bersifat konfrehensif dan luwes. Islam sebagai al-din mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk didalamnya aspek kenegaraan dan hukum.
Syariah dan hukum Islam memiliki karekateristik sendiri yang tidak dijumpai dalam sistem hukum lainnya, misalnya sistem hukum barat. Syariah bersifat transendental, sedangkan hukum barat pada umumnya telah menetralisir pengaruh nilai-nilai transendental dan bersifat sekuler. Hukum Islam bersifat konfrehensif dan luwes. Ia mencakup seluruh lini kehidupan manusia.
Dalam Konsep Negara Hukum (Nomokrasi Islam) kekuasaan adalah suatu kanuia atau nikamat Allah. Artinya ia merupakan rahmat dan kebahagiaan baik bagi yang menerima kekuasaan itu maupun bagi rakyatnya. Ini dapat terjadi apabila kekuasaan itu diimplimentasikan menurut petunjuk al-Qur;an dan tradisi nabi Muhammad. Sebaliknya kalau kekuasaan itu diterapkan dengan cara yang menyimpang atau bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dalam al-Qur’an dan tradisi Nabi, maka akan hilanglah makna hakiki kekuasaan itu. Dalam keadaan seperti ini, kekuasan bukan lagi merupakan karunia atau nikmat Allah, melainkan kekuasaan yang semacam ini akan menjadi bencana dan laknat Allah.
Dalam nomokrasi Islam kekuasaan adalah amanah dan setiap amanah wajib disampaikan kepada mereka yang berhak menerimanya, maka kekuasaan wajib disampaikan kepada mereka yang berhak menerimanya, dalam arti dipelihara dan dijalankan atau diterapkan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan prinsip-prinsip nomokrasi Islam yang digariskan dalam al-Qur’an dan dicontohkan dalam tradisi nabi
Pengertian diatas dapat dihubungkan dengan hadist nabi sebagai berikut :
“Ketahuilah bahwa kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan diminta pertanggung jawaban mengenai orang yang dipimpinnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin bagi rakyatnya dan ia akan diminta pertanggungjawaban mengenai rakyatnya”.
Secara eksplisit dalam hadits nabi di atas nabi mengkualifisir bahwa setiap muslim adalah pemimpin dalam arti formal dan non formal. Dalam arti formal yang dimaksud dengan pemimpin ialah setiap orang yang menduduki suatu jabatan dalam struktur pemerintahan. Dalam arti non formal setiap orang yang memegang pimpinan, baik sebagai kepala keluarga (seorang ayah atau suami, maupun sebagai pemimpin masyarakat (suatu kelompok atau sejumlah orang yang merupakan suatu kumpulan yang tidak resmi).
Dalam hal kepemimpinan secara formal ini maka di dalam Islam kita kenal konsep negara hukum seperti siyasah diniyah atau nomokrasi Islam. Menurut Ibnu Khaldun menemukan suatu tipologi negara dengan tolak ukur kekuasaan. Ia membagi negara menjadi dua kelompok yaitu :
1. Negara dengan ciri kekuasaan alamiah (mulk tabi’i) dan
2. Negara dengan kekuasaan politik (mulk siyasi).
Tipe negara pertama ditandai dengan kekuasaan yang sewenang-wenang (despotisme) dan cenderung kepada hukum rimba. Disini keunggulan dan kekuatan sangat berperan. Kecuali itu prinsip keadilan diabaikan. Ia mengkualifisir negara yang semacam ini sebagai negara yang tidak berperadaban. Tipe negara yang kedua dibaginya menjadi tiga macam yaitu (1) negara hukum atau nomokrasi Islam (siyasah diniyah), (2) negara hukum sekuler (siyasah aqliyah) dan (3) negara ala “republik” Plato (siyasah madaniyah).
Negara hukum dalam tipe yang pertama adalah suatu negara yang menjadi syariah (huum Islam) sebagai fondasinya. Malcolm H. Kerr menamakannya dengan istilah nomokrasi Islam. Karakteristik siyasah diniyah menurut Ibnu Khaldun ialah kecuali al-Qur’an dan Sunnah, akal manusiapun sama-sama berperan dan berfungsi dalam kehidupan negara. Waraq Ahmad Husaini mencatat bahwa nomokrasi Islam bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat universal, baik di dunia maupun di akherat (al-masalih al-kaffah). Husaini menggunakan istilah “Negara Syariah” untuk siyasah diniyah atau nomokrasi Islam.
Menurut Ibnu Khaldun tipe negara yang paling baik dan ideal diantara siyasah diniyah, siyasah aqliyah dan siyasah madaniyah ialah siyasah diniyah atau nomokrasi Islam. Siyasah aqliyah hanya mendasarkan pada hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan sumber hukum dari Wahyu. Sedangkan Pada siyasah madaniyah (republik ala Plato) merupakan suatu negara yang diperintah oleh segelintir golongan elit atas sebagian golongan budak yang tidak mempunyai hak pilih. Kemudian, dalam siyasah diniyah, kecuali syariah (hukum Islam) orang menggunakan pula hukum yang bersumber dari akal manusia.
Dari ketiga tipe negara yang termasuk dalam bentuk mulk siyasi itu, maka secara teoritis menurut Ibnu Khaldun nomokrasi Islam atau dalam istilahnya siyasah diniyah satu-satunya bentuk tata politik dan kultural yang permanen.
Yang menarik dari klasifikasi Ibnu Khaldun mengenai tipologi negara ialah pendekatannya yang menggunakan mulk sebagai a generic term dan pembagian mulk itu menurut karakteristiknya. Tingkat peradaban manusia adalah suatu kriterium untuk menentukan kedalam kelompok apa suatu negara dapat digolongkan, apakah dalam mulk tab’i Islam ataukah mulk siyasi? Tampaknya Ibnu Khaldun berpegang pada suatu hipotesis makin tinggi tingkat peradaban manusia maiin baik tipe negaranya. Tetapi, ciri ideal dari suatu negara ialah kombinasi antara syariah dan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan manusia dengan menggunakan akalnya.
Penulis berpendapat, yang dimaksud Ibnu Khaldun dalam penggunaan akal itu ialah menusia tetap merujuk kepada syariah. Jadi, suatu tingkat peradaban yang tinggi semata-mata belum mengandung implikasi bahwa itulah suatu negara ideal.

F. Konsep Negara Hukum Pancasila
Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Karena digunakan istilah rechtsstaat, maka timbul pertanyaan rechtsstaat atau negara hukum yang bagaimanakah yang dianut oleh Indonesia? Apakah rechtsstaat disini identik dengan konsep negara hukum Eropa Kontinental atau tidak ? Dengan kata lain, apakah rechtsstaat dalam penjelasan UUD 1945 itu merupakan suatu genus begrip sehingga dengan demikian dalam kaitan dengan UUD 1945 adakah suatu pengertian khusus dari istilah rechtsstaat sebagai genus begrip itu ? Diskusi tentang rechtsstaat tersebut sudah sering dilakukan, bahkan ada kecenderungan interpretasi yang mengarah kepada konsep rule of law.
Untuk memperoleh suatu kesimpulan yang tepat tentang permasalahan tersebut di atas dalam tulisan ini diamati dan dilakukan telaah terhadap pemikiran-pemikiran dari dua orang pakar hukum Indonesia yang terkenal yaitu Oemar Senoadji dan Padmo Wahyono. Meraka sangat berjasa dengan pemikiran-pemikiran yang merupakan elaborasi dari segi ilmu hukum tentang negara hukum yang bagaimana dan predikat negara hukum apa yang tepat dalam konteks Republik Indonesia (Pancasila dan UUD 1945)?
Oemar Sanoadji berpendapat bahwa negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
Salah satu ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap freedom of religion atau kebebasan beragama. Tetapi, kebebasan beragama dinegara hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada tempat bagi ateisme atau propaganda anti agama di bumi Indonesia. Hal ini sangat berbeda dengan misalnya di Amerika Serikat yang memahami konsep freedom of religion baik dalam arti positif maupun dalam arti negatif, sebagaimana dirumuskan oleh Sir Alfred Denning – yang dikutip Senoadji sebagai berikut :
“Freedom of religion means that we are free to worship or not to worship, to affirm the existence of God or to deny it, to believe in Christian religion or in none, as wewenang choose”.
Sedang di Uni Soviet dan negara-negara komunis lainnya “ freedom of religion” memberikan pula jaminan konstitusional terhadap propaganda anti agama. Ciri berikutnya dari negara hukum Indonesia menurut Senoadji ialah tiada pemisahan yang regid dan mutlak antara agama dan negara. Karena menurut Senoadji agama dan negara berada dalam hubungan yang harmonis. Keadaan ini berbeda dengan misalnya di Amerika Serikat yang mengad\nut doktrin pemisahan agama dan gereja secara ketat, sebagaimana dicerminkan oleh kasus Regents Prayer, karena berpegang pada wall of separation, maka doa dan praktek keagamaan di sekolah-sekolah dipandang sebagai suatu inkonstitusional. Senoadji menilai bahwa perkara tersebut sebagai sesuatu pencemaran terhadap ajaran Thomas Jefferson dan Madison.
Berbeda dengan pandangan Oemar Senoadji tentang hubungan agama dan negara di Indonesia, menurut beliau tidak menunjukkan suatu pemisahan yang rigid dan mutlak, penulis memahami bahwa dalam negara hukum Pancasila tidak boleh terjadi pemisahan antara agama dan negara baik secara mutlak maupun secara nisbi. Karena hal itu akan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Padmo Wahyono menelaah Negara Hukum Pancasila dengan bertitik pangkal dari asas kekeluargaan yang tercantum dalam UUD 1945. Dalam asas kekeluargaan maka yang diutamakan adalah “rakyat banyak, namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai”. Pasal 33 UUD 1945 mencerminkan secara khas asas kekeluargaan ini. Dalam pasal ini ada suatu penjelasan bahwa yang penting ialah kemakmuran masyarakat dan bukan kemakmuran orang seorang, namun orang seorang berusaha sejauh tidak mengenai hajat hidup orang banyak. Maka konsep negara hukum Pancasila harus dilihat dari sudut asas kekeluargaan itu.
Untuk dapat memahami bagaimana konsep negara hukum Pancasila perlu ditelaah bagaimana pengertian negara dan pengertian hukum dilihat dari asas kekeluargaan itu. Padmo Wahyono memahami hukum adalah suatu alat atau wahana untuk menyelenggarakan kehidupan negara atau ketertiban, dan menyelenggarakan kesejahteraan sosial. Pengertian ini tercermin dari rumusan penjelasan UUD 1945 yang berbunyi :
“Undang-undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusatr dan lain-lain penyelenggaraan negara untuk menyelenggarakan kehidupan negara, kesejahteraan sosial.”
Dengan mengganti perkataan undang-undang dasar dengan istilah hukum sebagai genus begrib, maka ditemukanlah rumusan hukum sebagaimana telah disebutkan di atas. Dengan demikian, hukum adalah wahana untuk mencapai keadaan yang “tata tentram kerta raharja” dan bukan hanya sekedar untuk kamtibnas (rust en orde) saja. Kecuali itu, Padmo menjelaskan juga bahwa dalam UUD 1945 terdapat suatu penjelasan bahwa bangsa indonesia juga mengakui kehadiran atau eksistensi hukum tidak tertulis selain hukum yang tertulis.
Sehubungan dengan fungsi hukum, Padmo menegaskan ada tiga fungsi huikum dilihat dari “cara pandang berdasarkan asas kekeluargaan” yaitu :
1. Menegakkan demokrasi sesuai dengan rumusan tujuh pokok sistem pemerintahan negara dalam penjelasan UUD 1945.
2. Mewujudkan keadilan sosial sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 dan
3. Menegakkan perikemanusiaan yang didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan dilaksanakan secara adil dan beradab.
Padmo Wahyono menamakan fungsi hukum Indonesia adalah sebagai suatu pengayoman, karena itu berbeda dengan cara pandang liberal yang melambangkan Hukum sebagai Dewi Yustitia yang memegang pedang dan timbangan dengan mata tertutup, sehingga memperlihatkan suatu citra bahwa keadilan yang tertinggi ialah suatu ketidakadilan yang paling besar. Hukum di Indonesia dilambangkan oleh “pohon pengayoman”.
Hal lain yang sangat menarik perhatian penulis adalah pandangan Padmo Wahyono tentang asal usul negara Indonesia. Berbeda dengan cara pandangan liberal yang melihat negara sebagai suatu status (state) tertentu yang dihasilkan oleh suatu perjanjian bermasyarakat dari individu-individu yang bebas atau dari status “naturalis” ke status “civil” dengan perlindungan terhadap civil rights, maka dalam negara hukum Pancasila ada suatu anggapan bahwa manusia dilahirkan dalam hubungannya atau keberadabannya dengan Tuhan. Karena itu, negara tidak terbentuk karena suatu perjanjian atau “vertrag yang dualistik “ melainkan “atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas”. Padmo Wahyono menegaskan bahwa konstruksi yang didasarkan atas asas kekeluargaan itu bukan suatu vertrag melainkan suatu kesepakatan suatu tujuan (Gesamtakt). Dengan petunjuk-petunjuk ini, maka Padmotiba pada suatu rumusan negara menurut Bangsa Indonesia sebagai berikut :
Suatu kehidupan berkelompok Bangsa Indonesia, atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas dalam arti merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur.
Rumusan ini apabila dibandingkan dengan nomokrasi Islam, mengandung dua dimensi yang sama, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia. Karena itu penulis sangat sependapat dengan rumusan tersebut.
Pandangan kedua pakar hukum di atas, penulis memperoleh suatu kesimpulan bahwa meskipun dalam penjelasan UUD 1945 digunakan istilah rechtsstaat, namun konsep rechtsstaat yang dianut oleh negara Indonesia bukan konsep negara hukum Barat (Eropa Kontinental) dan bukan pula konsep rule of law dari Anglo-Saxon, melainkan konsep negara hukum Pancasila sendiri dengan ciri-ciri :
1. Ada hubungan yang erat antara agama dan negara
2. Bertumpu pada ketuhanan Yang Maha Esa
3. Kebebasan beragama dalam arti positif
4. Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang
5. Asas kekeluargaan dan kerukunan.
Adapun unsur pokok negera hukum Indonesia adalah :
1. Pancasila
2. MPR
3. Sistem konstitusi
4. Persamaan
5. Peradilan bebas
Hal lain yang perlu penulis simpulkan di sini adalah bahwa istilah rechtsstaat dalam penjelasan UUD 1945 jelas merupakan suatu genus begrip yang dapat diterjemahkan dengan istilah negara hukum dalam bahasa Indonesia. Karena itu, maka istilah negara hukum Pancasila adalah merupakan pengertian khusus, sebagaimana yang dimaksudkan (secara implisit) oleh penjelasan Undang-Undang Dasar 1945.

G. Perbandingan Konsep-Konsep Negara Hukum
Dalam konsep negara hukum atau nomokrasi Islam atau siyasah diniyah memiliki ciri yang berbeda dengan konsep negara hukum yang dikemukakan oleh Barat atau (Eropa Kontinental), rechtsstaat, rule of law dan socialist legality serta dengan negara hukum Pancasila. Perbedaan itu tampak dari ciri dan unsur-unsur utama dari negara hukum itu sendiri. Demikian juga konsep Rechtsstaat yang dikemukakan Barat atau Eropa Kontinental dan rule of law serta socialist legality yang saling memiliki perbedaan dan konsep tentang negara hukum.


DAFTAR PUSTAKA


Abdul A’la Almaududi, Khilafah dan Kerajaan, Terjemahan Muhammad al-Baqir, Mizan, Bandung, 1984

Bukhari, Kitab al-Ahkam, Bab I

Harun al-Rasid, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara, ( Jakarta : UI Press)

M. Scheltema, De Rechtsstaat dalam JWM Engels, et. al., De Rechtsstaat Herdacht (W.E.J. Tjeenk Willink-Zwole, 1989

M. Daud Ali, dkk, Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum,m Sosial dan Politik, Bulan Bintang, Jakarta, 1988

Malcolm H. Kerr, Islamic Reform The Political and Legal Theories of Muhammad Abduh and Rasyid Ridha, Berkeley and Los Angeles : University of California Press, 1966

Moh. Kusnardi, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, 1983

Muhammad Thahir Azhary, Negara Hukum, Prenada Media, Jakarta, 1991

Oemar Senoadji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980

S. Waraq Ahmad Husaini, Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, Terj. Anas Mahyudin, Pustaka Salman ITB, Bandung

Satya Arinanto, Kumpulan Materi Transparansi Mata Kuliah Negara Hukum dan Demokrasi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004-2005

Padmo Wahyono, Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, 1988

0 comments: