This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Saturday, March 17, 2012

Dusta Atas Nama "Demi Keadilan"

terbit di suarariau.com Selasa, 13 Maret 2012 18:03 redaksi Diantara semakin berjayanya semua aktifitas pemerintah dari pusat sampai ke daerah, yang di dukung oleh fasilitas serba wah dan kebutuhan hidup yang mewah, tersingkirkan beberapa kelompok lemah yang jauh dari pembangunan, yang hidup dalam kemiskinan, yang kurang mendapatkan pendidikan dan tidak mendapatkan pekerjaan, bahkan terakhir tertindas di tanah kampung halamannya karena area mereka tercaplok perusahaan nasional yang mengatasnamakan untuk kesejahteraan rakyatnya. Slogan pemerintah yang sangat popular terngiang di telinga, adalah demi keadilan dan kesejahteraan rakyat selalu lantang di bicarakan di gedung-gedung dewan, bahkan menjadi projeck pembangunan besar-besaran oleh pemerintah, namun sentuhannya hanya bak sebuah aroma rendang yang tercium ketika panasnya, namun menghilang begitu saja karena pengaruh aroma goreng ikan asin dan jengkol yang menyengat,,,, sebuah dilemma nasib anak bangsa yang selalu tertindas oleh keadaan yang disengaja,, karena keadaan itulah yang akan menjadi projeck atas nama kesejahteraan rakyat dan projeck atas nama pembangunan desa tertinggal atau yang lebih dekatnya di riau kita kenal dengan projeck K2I. Hari ini,,, disamping ruwetnya kehidupan masyarakat karena kemiskinan dan tersisihnya dari pembangunan dan pendidikan serta keadilan, ada gejolak perjuangan masyarakat terhadap haknya yang selama ini di caplok oleh perusahaan-perusahaan nasional di berbagai daerah, yang mungkin telah sekian banyak memakan korban. Tidak cukup sampai di situ, malahan pemerintah mengembuskan angin segar atas nama kesejahteraan dan kestabilan bangsa, pemerintah harus menaikkan harga BBM, pemerintah harus menaikkan TDL, dan tentunya pemerintah secara tidak langsung akan menaikkan harga kebutuhan pokok, dengan demikian lengkaplah sudah penderitaan yang akan diterima langsung oleh rakyat Indonesia yang katanya kaya raya ini. Salut buat pemerintah berkuasa,,, selamat menikmati hasilnya, selamat berkorupsi ria,,, salam dari kami anak bangsa yang terabaikan……..(***) Penulis : Ali Azmi Merupakan Bekerja Di Universitas Islam Riau.

ANTARA KEBIJAKAN DAN KEPENTINGAN

terbit di bertuahvoice.com 9 Februari 2012 pukul 10:30 Kebijakan biasanya sangat dibutuhkan dalam menyikapi suatu isu dan permasalahan yang terjadi di lingkungan publik. Namun demikian kebijakan bisa juga dikeluarkan untuk memancing atau mensosialisasikan sebuah program yang akan diberlakukan di muka public. Sehinga ia dapat berupa usaha untuk merobah atau menetapkan suatu aturan pelaksanaan atau pencegahan agar tidak terjadinya pelanggaran atau penyimpangan atas pekerjaan dan program kegiatan. Biasanya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah adalah policy consists of political decision for implementing program to achieve social goal (kebijakan terdiri dari keputusan politis untuk mengimplementasi program dalam meraih tujuan demi kepentingan masyarakat), sehingga setiap kebijaksanaan merupakan suatu pedoman yang menyeluruh guna mencegah terjadinya kesalahan dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan. Memang sebuah kebijakan sering kali menjadi sebuah solusi ataupun jalan keluar dari masalah yang terjadi dalam suatu lingkup lembaga atau institusi yang telah diatur oleh aturan maupun sistem sebelumnya, apakah akan berdampak baik dan buruk, merugikan maupun menguntungkan salah satu pihak. disadari atau tidak, bahw kebijakan telah merusak sistem yang ada, namun tanpa adanya sebuah kebijakan, solusi atau jalan keluar yang diharapkan dari permasalahan yang terjadi mungkin tak akan kunjung tiba. Betapa mahalnya nilai sebuah kebijakan, sehingga memang benar bahwa, setiap kebijakan hanya dapat diputuskan oleh personil yang dinilai "bijak" atau dianggap pantas (pejabat berwenang) mengeluarkan sebuah kebijakan, sehingga ia menjadi sebuah pedoman dalam setiap tindakan bagi pelaksana kebijakan dan bahkan masyarakat yang terimbas kebijakan tersebut. Bijak atau tidaknya sebuah kebijakan tergantung kepada niat awal dari perancang atau sekelompok yang mengusulkan dikeluarkannya kebijakan, karena ia akan dapat bernilai ekonomis bagi pengambil kebijakan dan kelompoknya, yang dibungkus dalam sebuah ketentuan dan aturan yang mengikat sehingga legalitas pelaksanaannya jelas dan sesuai dengan aturan yang ada, kalau perlu dasar pemikirannya didukung oleh undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan daerah. Banyak kebijakan yang akhirnya membawa kesengsaraan, apakah itu bagi public, bagi pelaksana kebijakan atau bagi pembuat kebijakan itu sendiri, walaupun itu merupakan implementasi dari pelaksanaan undang-undang atau peraturan karena ia menyelipkan sebuah kepentingan atau terkandung didalamnya iktikad tidak baik yang dapat menguntungkan diri sendiri atau sekelompok orang. Apalagi di era otonomi daerah, dimana pemerintah daerah diberikan kewenangan penuh untuk mengatur dan mengolala semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan yang dipegang oleh pusat seperti bidang politik, pertahanan keamanan, peradilan, moner dan fiscal serta keagamaan. Sehingga banyak peluang untuk berbuat bagi pemerintah daerah dan kepala-kepala dinas untuk menetapkan sebuah kebijakan dibidangnya. Bila dalam kebijakan terselip sebuah kepentingan pribadi dan kelompok, maka bersiap-siaplah untuk mempertanggungjawabkannya, karena kepentingan akan tetap berbicara, karena kepentingan akan jelas mengambang walau disimpan dengan serapi-rapinya, sebab semua mata akan memandang kearah sana, semua telinga akan mendengar dan semua pikiran akan terfokus memikirkannya, kenapa, mengapa dan ada apa,, bukankah kebijakan bukan kepentingan? Bukankah kepentingan bukan sebuah kebijakan? Ini hanya sebuah inspirasi umum, yang anda sendiri mengerti mengapa ini tertulis dan mengapa ini menjadi topic dalam sebuah cerita yang sebenarnya sudah sangat lama berlangsung untuk sebuah kepentingan belaka.

Deuuhh..., Kemana Empat Pilar Itu?

katakabar.com Kamis, 01 Maret 2012 15:58
Sebagai anak bangsa, sudah sepatutnya kita prihatin terhadap maraknya konflik/kerusuhan sosial yang terjadi di berbagai daerah di Tanah Air. Insiden lantaran penegakan hukum yang dianggap tak sesuai, penyelesaian masalah pertanahan yang tak pro rakyat hingga masalah sosial lainnya, sungguh telah mengusik ketentraman dan keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara. Lihatlah tragedi penyerangan ke Mapolresta Pekanbaru, tragedy Masuji, Pulau Padang, Batang Kumu, kerusuhan buruh di Batam, kasus Freport yang bukan cuma merenggut nyawa dan harta. Tapi justru telah membikin rasa sesuku, persaudaraan, sedaerah dan sebangsa tercabik. Kemana empat pilar kebangsaan; Pancasila, UUD ’45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika itu? Satu lagi, tak satupun agama dan aturan yang mengajarkan kekerasan terhadap seseorang atau kelompok . Tapi kenapa yang semacam ini justru nyaris menjadi keseharian? Dan konflik nyaris menjadi tontonan yang jamak? Ada apa dengan Negeri ini? Apakah lantaran imej masyarakat sudah sampai pada kesimpulan bahwa Indonesia saat ini tidak begitu berbeda dengan Indonesia pada masa Orde Baru? Indonesia yang apabila ada pembangkangan ‘dihabisi’ dengan cara yang kasar? Atau lantaran yang berkuasa saat ini hanya bisa membikin pencitraan penuh muslihat, yang seakan-akan masyarakat tentram dan damai padahal di kalangan bawah berjibaku lantaran rasa keadilan itu telah dicuri. Dicuri oleh konglomerasi kapitalis dan kekuasaaan. Ada baiknya penyelenggara Negara ini segera merenung dan belajar dari segala bentuk pemerintahan masa lalu. Agar Negara ini tak boleh kalah dan jangan sampai kalah dengan aksi-aksi kekerasan dan konflik itu. Sebab Negara punya hukum dan aturan serta perangkat. Dan sudah semestinya seluruh komponen bangsa sama-sama melakukan revitalisasi dan menjalankan dengan sungguh-sungguh empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara tadi demi menjaga keutuhan NKRI yang merupakan komitmen bersama. Saling menghargai, saling asah, asih dan asuh dan menjunjung tinggi kebhinekaan yang ada di negeri ini. Tindak tegas aksi-aksi kekerasan yang membahayakan keselamatan rakyat, bangsa dan negara dalam koridor hukum yang berlaku. Sebab bila kekerasan, konflik atau apapun namanya itu dibiarkan, dikhawatirkan akan dapat menimbulkan konflik dan gejolak sosial berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat, bahkan dapat berpotensi mengancam ketahanan Negara dan stabilitas keamanan nasional. Ingat, kemerdekaan tanpa persamaan sama dengan kemerdekaan para penguasa, dan persamaan tanpa kemerdekaan sama dengan perbudakan belaka”

Dinamika Nasib & Perlindungan Anak Bangsa

suarariau.com
Jumat, 16 Maret 2012 20:10 redaksi Permasalahan seputar kehidupan anak akhir-akhir ini telah banyak menjadi perhatian kita bersama. Berbagai kasus yang tidak dapat ditolerir menjadi momok yang menakutkan bagi anak yang seharusnya mendapatkan kasih sayang orang dewasa. Dari data Komisi Nasional Perlindungan Anak menunjukkan, dalam empat bulan pertama di tahun 2011, telah terjadi 435 kasus kekerasan yang melibatkan anak. Hal yang menyedihkan, sebesar 58% dari kasus kekerasan terhadap anak tersebut merupakan kekerasan seksual. Itu masih empat bulan pertama di tahun 2011. Sedangkan sepanjang tahun 2010, terdapat 2.339 laporan kekerasan terhadap anak dimana 62% merupakan kekerasan seksual. Dari laporan tersebut ternyata kekerasan yang terjadi kebanyakan dilakukan orang dekat korban. Lokasinya di rumah, sekolah, dan lingkungan pergaulan. Peringatan Hari Anak Nasional setiap tahun hanya berupa acara-acara seremonial tapi minim tindakan yang konkrit dan membangun, terutama dalam pemenuhan hak-hak anak. Fakta yang ada saat ini banyak Anak yang berhadapan dengan Hukum (ABH), dan banyak anak-anak yang tinggal di jalanan dan belum mendapatkan kehidupan yang layak. Jika dirunut dalam sejarahnya, prinsip the best interest of the child ini pertama kali dikemukakan pada Declaration of the Rights of the Child pada tahun 1959. Dalam Pasal 2 Deklarasi Hak Anak itu, dikemukakan prinsip the best interest of the child sebagai paramount consideration yang berbunyi sebagai berikut: “The child shall enjoy special protection, and shall be given opportunities and facilities, by law and by other means, to enable him to develop physically in a healthy and normal manner and in conditions of freedom and dignity. In the enacment of laws for this purpose, the best interests of the child shall be the paramount considerations”. Dalam realitas kehidupan sosial, terjadinya berbagai kasus yang melanggar hak-hak anak, mendiskreditkan dan menindasnya baik akibat rendahnya pendidikan, faktor keluarga, tidak adanya perlindungan, persoalan lingkungan sekitar dan keterhimpitan secara sosial-ekonomi lainnya seperti pekerja anak, penjualan anak, kekerasan anak baik dalam rumah tangga maupun di luar, pelanggaran dan kekerasan seksual serta eksploitasi seksual terhadap anak dan sebagainya, yang semuanya merupakan pelanggaran yang sebenarnya tidak dapat di tolerir lagi. Dulu kita berharap dengan kehadiran Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai bentuk regulasi yang lahir akibat semakin derasnya masalah-masalah sosial tersebut terjadi, yang akhirnya membuat elemen-elemen masyarakat yang peduli terhadap problem ini menjadi resah sehingga mendorong Legislatif di tingkat nasional untuk serius memperhatikan masalah-masalah menyangkut perlindungan anak-anak Indonesia ini. Namun demikian ternyata dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) belum mampu memberikan instrumen yang kuat untuk mengimplementasikan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi di Indonesia. Padahal Undang-Undang ini pada dasarnya dilandasi oleh empat prinsip utama dari yakni non-diskriminasi, menjadikan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan berkembang serta berpartisipasi. Undang-Undang ini juga melingkupi aspek-aspek tentang hak anak seperti hak atas identitas, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan dan hak atas perlindungan. Untuk perlindungan, secara esensial perlindungan ini meliputi perlindungan terhadap kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan penelantaran. Sanksi tegas yang ada dalam Undang-Undang inipun akan membuat Undang-Undang ini menjadi payung hukum yang bermanfaat bagi perlindungan anak. Namun demikian, berbagai kasus yang akhir-akhir ini terjadi di berbagai kabupaten kota di Indonesia semakin memilukan, dimana anak menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan segala bentuk kekurang-ajaran orang-orang yang mestinya melakukan perlindungan terhadap anak tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai kasus yang dilontarkan oleh berbagai media tentang kejahatan terhadap anak seperti pelecehan seksual, perdagangan anak, penganiayaan dan penelantaran serta mungkin mempekerjakan anak-anak dibawah umur diluar batas kemampuannya. Bahkan mungkin yang tidak terpikirkan adalah menjadikan anak sebagai agen-agen narkoba dan tindak pidana kejahatan yang dibelakangnya didukung oleh mereka yang haus akan harta benda. Padahal dalam Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 64 undang-undang ini menyatakan: “Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya”. Selanjutnya Pasal 65 menyatakan: "Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dan kegiatan eksploitasi, dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta dan berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Anak-anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang kian cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, juga telah membawa pengaruh perubahan sosial yang mendasar kepada anak-anak yang berakibat kepada nilai dan perilaku anak. Perbuatan melanggar hukum sebagai akibat adanya kenakalan anak, karena 2 faktor utama. Yaitu, partama, faktor pendidikan formal: tidak diberikannya pendidikan akhlak. Pendidikan hanya mengutamakan sisi intelektual, tetapi mengabaikan sisi emosional dan spiritual. Kedua, faktor diluar (non-formal), yaitu faktor lingkungan, dimulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, dan lingkungan pergaulan yang lebih luas. Program hiburan kekerasan, berita kriminal, tayangan televisi atau sinetron yang tidak mendidik, waktu tayang yang tidak tepat, telah memberikan dampak negatif terhadap anak, berpengaruh pada perilaku yang pada akhirnya anak melakukan perbuatan melanggar hukum. Faktor lain yang tidak bisa diabaikan adalah pengaruh negatif penggunaan narkotika, psikotropika serta zat adiktif semakin meningkat. Terakhir yang sangat dominan, sebagai masyarakat agamis, segala macam bentuk kekerasan terhadap anak dan penyimpangan yang dilakukan anak diakibatkan oleh lemahnya pemahaman dan pengamalan ilmu agama, baik dilingkungan keluarga, masyarakat dan bahkan kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga tiada lagi filter dalam berbuat dan akhirnya kejadian demi kejadian tentang kekerasan terhadap anak dan prilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak semakin hari semakin meningkat.,,, semoga ke depan hal ini menjadi pertimbangan orang tua, masyarakat dan pemerintah.

Friday, March 16, 2012

Negara Ku Sudah Tak Nyaman Lagi Untuk Ditempati

suarariau.com
Rabu, 14 Maret 2012 12:37 redaksi Pada dasarnya pemerintahan dibentuk untuk pencapaian kesejahteraan bersama, pencapaian keamanan bersama, terlindungi dan dijamin oleh Negara dalam setiap langkah dan aktivitas bangsanya, tiada rasa ketakutan karena kita dibawah jaminan, tiada rasa keraguan karena kita dibawah kekuasaan yang memikirkan rakyatnya. Namun sebuah realita yang tak pernah dapat dipungkiri, akhir-akhir ini, dengan semakin majunya demokratisasi, bangsa ini terasa tak ternaungi, tak terlindungi, dan bahkan tak menjadi prioritas untuk sebuah arti demokrasi yang sedang menjadi-jadi. Bergulirnya reformasi dan semakin banyaknya lembaga-lembaga yang berdiri mengatasnamakan untuk sebuah kesejahteraan dan kenyamanan bangsa di republik ini, maka semakin sulit rasanya untuk keluar dari dilemma yang bertentangan dengan cita-cita Negara ini. Karena bangsa tidak hanya butuh materi, bangsa tidak hanya butuh teknologi, dan bangsa tidak hanya butuh pendidikan, tapi yang terutama bangsa ini butuh makan, bangsa ini butuh kenyamanan, dan bangsa ini butuh ketenangan. Hari ini uang atau kekayaan secara materi belum tentu mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena bisa saja uang ada namun kebutuhan tidak tersedia, uang ada namun tak bisa dipergunakan untuk kebutuhan yang sangat sederhana,, dengan alas an keterbatasan, dengan alas an subsidi dan alasan kelangkaan, akhirnya kita tidak mampu memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan kita, walaupun itu sangat sederhana. Hari ini juga terjadi bahwa keamanan dan kenyamanan tidak lagi tersedia, jangankan berjalan keluar kota, diam dirumah saja tidak ada jaminan bahwa kita akan tetap aman dari bahaya dan kekerasan yang ada. Padahal di negara ini keamanan setiap warga Negara dijamin oleh Negara,,, tapi itu hanya sebuah kata yang tertulis dalam retorika bernegara. Hari ini juga bahwa kualitas sumber daya manusia selalu jadi alasan untuk perbaikan, namun dengan tingginya sekolah, pintarnya berbicara karena ketinggian ilmunya, serta dianggap pantas dan layak menduduki jabatan atau kedudukan, bangsa ini malah semakin payah, bangsa ini semakin menderita menanggung ulah mereka yang pintar dan berkualitas tinggi,,, karena ternyata mereka hanya pintar dan mendesign, pintar merencanakan, bahkan pintar mengerjakan, namun hasilnya menambah luka, hasilnya menambah susah bukan hanya bagi masyarakatnya, tapi juga akhirnya menyusahkan akan dirinya, karena kepintaran dan kecerdasannya tidak diikuti oleh nilai2 moral dan etika, sehingga tiada malu dalam jiwa, tiada rasa penyeimbang perbuatan , yang imbasnya akan berbuah sebuah kejahatan dengan kepintaran, maling dengan cara yang seakan dilegalkan, kebijakan yang seakan untuk sebuah kesejahteraan rakyat, namun ternyata kebijakan hanya untuk sebuah nilai kepintaran, nilai kecerdasan yang mengambil sisi dan celah untuk sebuah kepentingan. Demikian juga hukum dan peraturan sebagai pengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, yang akhir-akhir ini juga hanya berpihak kepada para pemegang kekuasaan, pemegang modal, dan pemegang lisensi jabatan, ia hanya sebagai sebuah aturan basa basi, yang tertulis dan mesti ditaati, namun tak punya gigi untuk mengunyah mereka yang punya nyali karena kekuasaan dan jabatan serta modal yang dimiliki. Akhirnya agar ia tetap terealisasi sebagai sebuah hokum yang mesti tegak berdiri memakan mangsa masyarakat yang terlalu sulit dalam ekonomi, terlalu sulit menjalani hidup ini, makan sekali sehari, hidup ditengah kemiskinan panjang, bekerja seperti budak, dan mereka yang mungkin hidup sederhana namun tak punya koneksi dan tak mampu menyumbang untuk keselamatan dirinya dalam kasus hukum yang dituduhkan.(***) Penulis : Ali Azmi Merupakan Pegawai Di Universitas Islam Riau.

Tuesday, February 7, 2012

Pejabat VS Penjara

jadi pejabat itu memang asyik dan menjanjikan, apapun dapat dilakaukan dengan perintah, bawahan dan rekanan selalu menunduk dengan hormat, fasilitas tinggal pilih berdasarkan salera, perjalanan dalam dan luar negeri tinggal pilih sesuai dengan kebutuhan dan kenyamanan, tiada yang mampu menahan godaannya, berapapun rupiah yang hendak dihabiskan, berapapun perjuangan yang harus dilakukan, dan berapapun dukungan yang harus dikorbankan dan bagaimanapun cara yang baik dan baruk yang harus diperbuat untuk mendapatkan, jabatan pejabat seperti surga indah sang penikmat,,, idealisme terkadang hanya awal dari pengorbanan, ketagasan dan kewibawaan terkadang hanya penghias pencapaian tujuan. Dinamika politik dan birokrasi indonesia yang cenderung kehilangan arah berpijak, dimana setiap lini kebijakan, keputusan dan wewenang memiliki peluang untuk dibuat menyimpang. Walaupun sudah terlalu banyak gaji dan fasilitas penunjang lainnya namun kebutuhan nafsu anak, istri, teman dan bahkan mungkin biaya kenakalan akan membuat seseorang tergiur untuk menyimpang dengan kekuasaan yang ada, dengan cara-cara yang lebih sopan, terkesan baik dan indah, seakan ini memang kepentingan Negara atau untuk kesejahteraan masyarakatnya. Sepertinya sudah lumrah di negara ini, pejabat dituntut untuk bisa bernegosiasi dengan cara apapun, termasuk untuk membenarkan kesalahan. Dengan menggunakan kata-kata yang lebih indah, pejabat bisa membuat sekian jarak pemahaman agar para pendengarnya bisa sabar, mengerti dan seakan memahami tujuannya baik, yang pada akhirnya membenarkan kesalahan yang sudah terjadi. Dan inilah yang cenderung terjadi karena ternyata dalam dunia politik, kebenaran dan kesalahan memiliki kans yang sama untuk dibenarkan atau disalahkan. Semuanya tergantung bagaimana rangkaian kata dan bahasa yang digunakan. Akhirnya sebuah kebijakan selalu berbuah penyimpangan, apakah itu direncanakan atau mengambil celah untuk mendapatkannya. Korupsi, sogok, fee atau uang terima kasih yang lebih indah diucapkan selalu membayangi kegiatan. Jika sudah demikian adanya, bak kata pepatah sepandai-pandai tupai melompat suatu saat akan jatuh juga, ibarat menyimpan tulang dalam bungkusan daun, yang akhirnya akan kelihatan, karena memang kesalahan sekecil apapun pasti akan mendatangkan imbas dalam sebuah realitas, kesalahan harus ditebus dan harus dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban inilah yang selalu menjadi boomerang dalam sebuah jabatan pejabat, apakah dia dilakukan secara langsung atau tidak langsung, apakah dilakukan ketika menjabat atau setelah jabatan punah, sehingga akhirnya penjara menjadi tempat merenungkannya, apapun alasan untuk mengatakan tidak bersalah, tidak korupsi atau tidak menyimpang, realitas selalu berkata bahwa semuanya telah menunjukkan bukti, karena mencari salah itu sangat mudah bagi yang menginkannya, bukti kabur bisa menjadi nyata, bukti hilang bisa ditemukannya, dan bahkan bukti yang tidak ada bisa dicarikan solusi lainnya untuk menjerat sang pejabat yang mulia. Akhirnya pejabat dan penjara seperti menjadi sebuah hubungan sebab akibat,, tak ada penjara tanpa adanya pejabat dan tak ada pejabat tanpa adanya penjara,, sebuah hubungan baru dalam dunia berokrasi dan perpolitikan di Indonesia,, berlomba-lomba menjadi pejabat, dan berlomba-lomba masuk penjara.