Saturday, March 17, 2012

Dinamika Nasib & Perlindungan Anak Bangsa

suarariau.com

Jumat, 16 Maret 2012 20:10 redaksi Permasalahan seputar kehidupan anak akhir-akhir ini telah banyak menjadi perhatian kita bersama. Berbagai kasus yang tidak dapat ditolerir menjadi momok yang menakutkan bagi anak yang seharusnya mendapatkan kasih sayang orang dewasa. Dari data Komisi Nasional Perlindungan Anak menunjukkan, dalam empat bulan pertama di tahun 2011, telah terjadi 435 kasus kekerasan yang melibatkan anak. Hal yang menyedihkan, sebesar 58% dari kasus kekerasan terhadap anak tersebut merupakan kekerasan seksual. Itu masih empat bulan pertama di tahun 2011. Sedangkan sepanjang tahun 2010, terdapat 2.339 laporan kekerasan terhadap anak dimana 62% merupakan kekerasan seksual. Dari laporan tersebut ternyata kekerasan yang terjadi kebanyakan dilakukan orang dekat korban. Lokasinya di rumah, sekolah, dan lingkungan pergaulan. Peringatan Hari Anak Nasional setiap tahun hanya berupa acara-acara seremonial tapi minim tindakan yang konkrit dan membangun, terutama dalam pemenuhan hak-hak anak. Fakta yang ada saat ini banyak Anak yang berhadapan dengan Hukum (ABH), dan banyak anak-anak yang tinggal di jalanan dan belum mendapatkan kehidupan yang layak. Jika dirunut dalam sejarahnya, prinsip the best interest of the child ini pertama kali dikemukakan pada Declaration of the Rights of the Child pada tahun 1959. Dalam Pasal 2 Deklarasi Hak Anak itu, dikemukakan prinsip the best interest of the child sebagai paramount consideration yang berbunyi sebagai berikut: “The child shall enjoy special protection, and shall be given opportunities and facilities, by law and by other means, to enable him to develop physically in a healthy and normal manner and in conditions of freedom and dignity. In the enacment of laws for this purpose, the best interests of the child shall be the paramount considerations”. Dalam realitas kehidupan sosial, terjadinya berbagai kasus yang melanggar hak-hak anak, mendiskreditkan dan menindasnya baik akibat rendahnya pendidikan, faktor keluarga, tidak adanya perlindungan, persoalan lingkungan sekitar dan keterhimpitan secara sosial-ekonomi lainnya seperti pekerja anak, penjualan anak, kekerasan anak baik dalam rumah tangga maupun di luar, pelanggaran dan kekerasan seksual serta eksploitasi seksual terhadap anak dan sebagainya, yang semuanya merupakan pelanggaran yang sebenarnya tidak dapat di tolerir lagi. Dulu kita berharap dengan kehadiran Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai bentuk regulasi yang lahir akibat semakin derasnya masalah-masalah sosial tersebut terjadi, yang akhirnya membuat elemen-elemen masyarakat yang peduli terhadap problem ini menjadi resah sehingga mendorong Legislatif di tingkat nasional untuk serius memperhatikan masalah-masalah menyangkut perlindungan anak-anak Indonesia ini. Namun demikian ternyata dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) belum mampu memberikan instrumen yang kuat untuk mengimplementasikan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi di Indonesia. Padahal Undang-Undang ini pada dasarnya dilandasi oleh empat prinsip utama dari yakni non-diskriminasi, menjadikan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan berkembang serta berpartisipasi. Undang-Undang ini juga melingkupi aspek-aspek tentang hak anak seperti hak atas identitas, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan dan hak atas perlindungan. Untuk perlindungan, secara esensial perlindungan ini meliputi perlindungan terhadap kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan penelantaran. Sanksi tegas yang ada dalam Undang-Undang inipun akan membuat Undang-Undang ini menjadi payung hukum yang bermanfaat bagi perlindungan anak. Namun demikian, berbagai kasus yang akhir-akhir ini terjadi di berbagai kabupaten kota di Indonesia semakin memilukan, dimana anak menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan segala bentuk kekurang-ajaran orang-orang yang mestinya melakukan perlindungan terhadap anak tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai kasus yang dilontarkan oleh berbagai media tentang kejahatan terhadap anak seperti pelecehan seksual, perdagangan anak, penganiayaan dan penelantaran serta mungkin mempekerjakan anak-anak dibawah umur diluar batas kemampuannya. Bahkan mungkin yang tidak terpikirkan adalah menjadikan anak sebagai agen-agen narkoba dan tindak pidana kejahatan yang dibelakangnya didukung oleh mereka yang haus akan harta benda. Padahal dalam Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 64 undang-undang ini menyatakan: “Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya”. Selanjutnya Pasal 65 menyatakan: "Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dan kegiatan eksploitasi, dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta dan berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Anak-anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang kian cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, juga telah membawa pengaruh perubahan sosial yang mendasar kepada anak-anak yang berakibat kepada nilai dan perilaku anak. Perbuatan melanggar hukum sebagai akibat adanya kenakalan anak, karena 2 faktor utama. Yaitu, partama, faktor pendidikan formal: tidak diberikannya pendidikan akhlak. Pendidikan hanya mengutamakan sisi intelektual, tetapi mengabaikan sisi emosional dan spiritual. Kedua, faktor diluar (non-formal), yaitu faktor lingkungan, dimulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, dan lingkungan pergaulan yang lebih luas. Program hiburan kekerasan, berita kriminal, tayangan televisi atau sinetron yang tidak mendidik, waktu tayang yang tidak tepat, telah memberikan dampak negatif terhadap anak, berpengaruh pada perilaku yang pada akhirnya anak melakukan perbuatan melanggar hukum. Faktor lain yang tidak bisa diabaikan adalah pengaruh negatif penggunaan narkotika, psikotropika serta zat adiktif semakin meningkat. Terakhir yang sangat dominan, sebagai masyarakat agamis, segala macam bentuk kekerasan terhadap anak dan penyimpangan yang dilakukan anak diakibatkan oleh lemahnya pemahaman dan pengamalan ilmu agama, baik dilingkungan keluarga, masyarakat dan bahkan kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga tiada lagi filter dalam berbuat dan akhirnya kejadian demi kejadian tentang kekerasan terhadap anak dan prilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak semakin hari semakin meningkat.,,, semoga ke depan hal ini menjadi pertimbangan orang tua, masyarakat dan pemerintah.

0 comments: